Jumat, Juni 13, 2008

The Killing Fields, Memoar Dith Pran

Sosoknya menghadirkan sebuah kategori khusus: Jurnalistik kepahlawanan.
Inilah neraka hidup itu. Dith Pran menyaksikan sendiri negerinya berubah di tengah cengkereman rezim Khmer Merah. Demi bertahan hidup, dia berpegang pada sebuah kredo: Jangan bergerak kecuali ada 50:50 kesempatan agar tidak terbunuh.Di tengah situasi genting, dia melakukan proses evakuasi istri dan anak-anaknya. Namun, Dith sendiri bersikeras tetap tinggal di Kamboja bersama Sydney H Schanberg, seorang koresponden The New York Times yang ditugaskan ke Asia Tenggara, agar tetap dapat meliput seluruh peristiwa. Dith yakin negerinya bisa selamat jika negara lain mengetahui tragedi yang terjadi dan merespons.Dith pun menjadi mitra jurnalistik Schanberg. Dia membantu menerjemahkan, mencatat, memotret, dan menolong Schanberg di tengah carut marut Kamboja. Ketika Phnom Penh jatuh pada 1975, segalanya berubah. Dith harus menyelamatkan Schanberg dan jurnalis Barat lain dengan cara membujuk para tentara yang menangkap mereka.Sayang, di tengah kondisi kalut, Dith harus menerima kenyataan dikirim ke kawasan terpencil untuk bergabung dengan jutaan orang lain yang dipekerjakan sebagai budak. Schanberg terusir dari negeri ini dan Dith menjadi tawanan Khmer Merah. Beberapa tahun berselang, Schanberg menuliskan kisah Dith itu dalam sebuah artikel berjudul The Death and Life of Dith Pran (Kematian dan Kehidupan Dith Pran) di The New York Times.Kisah ini lantas diadaptasi menjadi film The Killing Fields (1984). Film yang membuka mata dunia tentang pembantaian di Kamboja. Film yang membuat Haing S Ngor, pemeran Dith Pran, menyabet gelar pembantu pria terbaik Academy Award satu di antara tiga Oscar.Dith Pran lahir pada 23 September 1942 di Siem Reap, Kamboja, di sebuah kota provinsi tak jauh dari kuil kuno di Angkor Wat. Dia belajar bahasa Prancis di sekolah dan menekuni bahasa Inggris secara otodidak. Berkat kemampuan berbahasa itu, Dith sempat menjadi penerjemah badan militer Amerika.Di awal 1970-an, ketika kekisruhan di Vietnam meluas dan Kamboja jatuh dalam perang sipil, Khmer Merah menjadi lebih kuat. Di saat itu, Dith sudah menjadi penerjemah para jurnalis asing. Ketika mendampingi Schanberg, dia belajar memotret. Saat Khmer Merah berkuasa, Dith menjadi bagian dari sebuah eksperimen sosial yang mengerikan berupa pengusiran ratusan ribu orang dari kota dan penindasan kaum terdidik untuk mewujudkan Kamboja sebagai negara agraris.Demi menghindari eksekusi, Dith memilih untuk menyembunyikan identitasnya. Dia menjadi sopir taksi, membuang hartanya, dan berpakaian seperti petani. Lebih dari empat tahun, dia melakukan pekerjaan kasar. Dith merasakan tahun-tahun yang penuh pukulan, kerja keras tanpa batas, dan makanan yang hanya berupa satu sendok makan nasi setiap hari. Hingga November 1978, Vietnam menginvasi Kamboja dan menjungkalkan akar kuat Khmer Merah.
Dith pun kembali ke kampung halamannya di Siem Reap. Di sanalah pemandangan mengenaskan itu terhampar. Sekitar 50 anggota keluarganya terbunuh, sumur-sumur terisi penuh dengan tengkorak dan mayat. Puncaknya adalah pada 3 Oktober 1979, Dith berhasil melarikan diri melewati perbatasan Thailand.

Setelah tahun demi tahun berlalu tanpa mendengar kabar dari Dith, Schanberg mendengar kabar menggembirakan pelarian Dith. Dia sendiri telah mendapat Pulitzer berkat reportasenya di Kamboja. Schanberg menerimanya atas nama Dith juga.

Schanberg menerima kedatangan sang sahabat dengan tangan terbuka. Di San Francisco, AS, Dith bertemu dengan istri dan keempat anaknya. Dith pun memulai hidup baru dengan pindah ke New York. Pada 1980, dia menjadi fotografer The New York Times. Hasil bidikannya amat imajinatif. Ketika merekam kematian seorang tokoh masyarakat yang terbunuh, Dith lebih suka memotret para wajah duka para pelayat ketimbang membidik peti mayat. ''Kita harus menjadi sebuah nanas yang memiliki ratusan mata,'' ujar Dith mengungkap teori foto jurnalistiknya. Di luar kerja jurnalistik, Dith tetap berteriak lantang menentang pembantaian Kamboja.

Akibat kanker pankreas yang menggerogotinya, Dith Pran mengembuskan napas terakhir di usia 65 tahun. Menjelang kematiannya, Dith berusaha membentuk sebuah organisasi baru untuk membantu Kamboja. Pada 1997, dia menerbitkan sebuah buku berisi kumpulan esai warga Kamboja yang menjadi saksi selama bertahun-tahun menghadapi teror rezim kejam. Sepanjang hidupnya, Dith berdedikasi untuk menghentikan segala bentuk pembantaian di dunia.

Bill Keller, editor eksekutif The Times, mengenang Dith. ''Untuk kita semua yang bekerja sebagai wartawan asing di kawasan konflik, Dith Pran mengingatkan kita pada satu kategori jurnalistik kepahlawanan. Dialah mitra lokal, penerjemah, sopir, perantara, yang tahu segala simpul, yang membuat kerja kita mudah, seorang teman yang menyelamatkan hidup, berbagi sedikit kebahagiaan, dan menghadapi semua bahaya.'' Dalam sebuah wawancara terakhir, Dith sempat mengungkap keinginan agar ada orang yang mau melanjutkan kerjanya. ''Bila ini terjadi, arwahku akan tenang.' nyt/neh

Tidak ada komentar: